KOTA BOGOR – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kota Bogor menggelar aksi unjuk rasa di depan pintu istana Bogor, Selasa (14/5) sore. Mereka menyoroti berbagai kasus pembungkaman hak untuk berekspresi yang terjadi di berbagai daerah.
“Padahal, hak asasi manusia untuk menyampaikan pendapat dijamin oleh negara melalui Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28F UUD 1945,” kata Ketua HMI Kota Bogor, Sofwan Ansori kepada awak media.
Namun, lanjutnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak aktivis yang mengkritik pemerintah justru dipidanakan dengan menggunakan pasal-pasal karet yang dinilai bertentangan dengan nilai konstitusi.
“Ini adalah upaya pembungkaman terhadap mereka yang berpendapat di ruang publik,” ungkapnya
Menurutnya, Amnesty International Indonesia menilai bahwa pemerintah Indonesia sering meremehkan kritik terkait kondisi HAM. Bahkan, terhadap Komite Hak Asasi Manusia PBB, respons pemerintah dianggap tidak memadai.
“Kontras, menyatakan bahwa pemerintahan Jokowi saat ini minim sekali membuka partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang. Menurutnya, proses demokrasi saat ini jauh dari prinsip-prinsip Good Governance yang berorientasi pada masyarakat,” ungkapnya lagi.
Salah satu kasus kriminalisasi aktivis tidak hanya terjadi di pusat tetapi juga di daerah. Sofwan mencontohkan, adalah Akbar Idris, mantan Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI, dilaporkan oleh Bupati Bulukumba atas pencemaran nama baik setelah mengkritik kinerja bupati.
“Ia dikenakan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE, yang sering digunakan untuk membungkam kritik,” jelasnya.
HMI Kota Bogor menilai bahwa ruang bagi para aktivis untuk mengkritik kebijakan pemerintah semakin hari semakin tidak terjamin. Oleh karena itu, HMI Kota Bogor menggelar aksi solidaritas dan menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Meminta Presiden Jokowi memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus kriminalisasi aktivis, baik di pusat maupun daerah.
2. Mendesak Presiden Jokowi untuk menangani kasus yang menimpa Akbar Idris, mantan Wasekjen PB HMI.
3. Menuntut Presiden Jokowi untuk menindak atau memberhentikan pejabat-pejabat yang anti kritik, baik di pusat maupun daerah.
4. Mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut aturan atau pasal-pasal karet yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi aktivis.
5. Menolak segala bentuk Rancangan Undang-Undang yang dinilai memperkecil ruang publik untuk berpendapat atau menyampaikan informasi, seperti RUU Penyiaran yang akan melarang konten eksklusif jurnalisme berbasis investigasi. (*/DR)
